Problematika Akulturasi dan Dunia Pendidikan


Penulis                : Hilmi Salam (14121330386)
Semester/kelas    : PBI-D/ Semester 4
Mata Kuliah        :  Writing and Composition 4
Tugas                  :  Progress Test (Critical Review)

Problematika Akulturasi dan Dunia Pendidikan
Pilar kemajuan suatu bangsa ditentukan dengan adanya pendidikan dalam membangun pengetahuan dari setiap individu.  Setiap sisi dari kehidupan sudah pasti berkecimpung dengan lingkungan pendidikan yang pada kenyataannya menjadi jamur di masyarakat dengan tumbuhnya pendidikan formal sebagai lembaga sekolah, informal juga non-formal sebagai lembaga kursus atau yang lainnya.
Pendidikan formal merupakan kegiatan dari proses belajar mengajar yang sistematis,  bertingkat, dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi namun ada pula ynag mengawalinya dengan taman kanak-kanak dan yang setaraf dengannya, yang di dalamnya meliputi kegiatan belajar akademis dan bersifat umum kemudian program spesialisasi, dan  latihan  professional, yang dilaksanakan dalam waktu yang berkala.

Pendidikan informal diwujudkan dengan proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang  berorientasi pada pengalaman hidup  sehari-hari, adapun pengaruh luar seperti lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh  kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan media massa akan memberikan efek yang berbeda namun mempunyai unsure pendidikan.
Pendidikan nonformal juga adalah bagian dari orientasi pendidikan yang menyerupai sistem sekolah yang didalamnya sudah terorganisir namun bukan termasuk dalam persekolahan, yang dilakukan secara mandiri untuk memberikan konsentrasi khusus apa yang dibutuhkan oleh peserta didik sehingga bisa terfokus pada satu tujuan yang dicapai melalui lembaga kursus.
Ketiga   pengertian   di   atas   dapat   digunakan   untuk   membedakan   program pendidikan  yang termasuk  ke dalam  setiap  jalur pendidikan  tersebut.  Sebagai  bahan untuk menganalisis berbagai program pendidikan maka ketiga batasan pendidikan di atas perlu diperjelas lagi dengan kriteria yang  dapat membedakan antara pendidikan yang program-programnya bersifat nonformal dengan pendidikan  yang program-programnya bersifat informal dan formal. Perbedaan antara pendidikan yang  program-programnya bersifat nonformal dan informal dapat dikemukakan sebagai berikut. Pendidikan  yang program-programnya bersifat nonformal memiliki tujuan dan kegiatan yang terorganisasi, diselenggarakan  di  lingkungan  masyarakat  dan  lembaga-lembaga,  untuk  melayani kebutuhan  belajar  khusus  para  peserta  didik.  Sedangkan  pendidikan  yang  program- programnya   bersifat  informal tidak diarahkan untuk melayani kebutuhan belajar yang terorganisasi.   Kegiatan   pendidikan   ini   lebih   umum,   berjalan   dengan   sendirinya, berlangsung terutama dalam lingkungan keluarga,  serta  melalui media massa, tempat bermain, dan lain sebagainya.
Ketika ada kegiatan di sekitar lingkungan yang termasuk dalam pendidikan informal, yang terselenggara secara alami kemudian lambat laun dapat menjadi terorganisir kemudian memenuhi kebutuhan peserta didik, ini juga bisa termasuk dalam kategori pendidikan nonformal, bukan berarti tidak ada hubungan dari kedua sistem pendidikan tersebut karena pada dasarnya di luar konteks persekolahan namun memberikan kontribusi sama dengan yang diberikan oleh sekolah. Apabila bercermin pada apa yang telah terjadi dewasa ini, pendidikan formal yang seharusnya mencetak generasi bangsa yang mampu menjadi roda penggerak bangsa ini malah membuat kerusakan, ini sangat bertolak belakang dari tujuan pendidikan. Biasanya semua terjadi dari sistem pendidikan yang formal. Dilema ini sering kita jumpai di sekolah-sekolah SLTP dan SLTA yang sering terjadi tawuran, kemudian kenakalan remaja lainnya.
Maka dari itulah pendidikan harus bisa mengimbangi keadaan pelajar di Indonesia, dengan orientasi pendidikan yang terpaku pada sistem yang bertopeng kurikulum, apakah mampu membentengi perilaku remaja sekarang? Tentu saja dibutuhkan pendidikan karakter sehingga karakter seorang siswa dapat terarah. Oleh karenanya, penanaman karakter yang religius dan taat bertoleransi alangkah baikya kita tanamkan sejak dini kepada ank-anak yang belajar disekolah, tidak hanya pada pendidikan formal saja melainkan pada pendidikan nonformal dan informal. Para pendidik formal sudah pasti telah dijejali dengan sistem-sistem kualitas yang terbaik termasuk dengan menghargai satu sama lainnya untuk memberikan kontribusi yang terbaik kepada peserta didiknya. Namun melihat keadaan lingkungan yang menjadi sangat krusial pada perubahan karakter siswa ini sangat sulit untuk dibendung, ketika ada siswa yang sering bergaul dengan teman-temannya kemudian dengan asik melakukan kenakalan remaja,  karena mereka hanya belajar sesaat saja pada waktu disekolah setelah itu kembali kepada lingkungannya masing-masing.
Pendidikan informal dilakukan di lingkungan yang terdekat dengan individu tersebut, bukan hanya peran teman, tetangga dan lingkungannya, salah satu yang terpenting adalah pembentukan karakter awal semenjak sesorang itu lahir yaitu orangtua. Karena sangatlah penting peran orangtua terhadap pembentukan karakter anaknya, apa yang dilakukan oleh anak pasti tidak jauh dari kebiasaan yang dilakukan oleh orangtuanya. Berangkat dari sinilah peran orangtua untuk selalu mengawasi dan menevaluasi apa yang dilakukan anak tersebut.
Ketika pendidikan formal dan informal telah sukses menjadi landasan seorang anak maka ada aspek penting lain yang harus diperhatikan untuk penanaman karakter pada jiwa anak tersebut. Suma akan menjadi sia-sia apabila kedua aspek tersebut tidak bisa menjadi pondasi karakter seorang anak itu. Pada saat itulah peran sebagai pendidik untuk menguatkan apa yang telah didapatkan dengan baik. Mengingat dewasa ini melihat kondisi pelajar Indonesia yang menyimpang dari kewajiban mereka sebagai pelajar itu sangat mengkhawatirkan dan ironis, pendidikan dasar yang berangkat dari pendidikan informal di keluarga hingga pendidikan formal di sekolah tidak mampu mengendalikan perilaku siswa, mereka mudah terpancing emosi sehingga terjadi tawuran, tidak bisa menjaga moral sehingga terjadi pergaulan bebas, semua ini harus dikendalikan dengan baik dan tugas wajib dari seorang pendidik.
Hal yang harus dihindari tentu saja terjadinya kesenjangan sosial, banyak diantaranya melenceng dari aturan-aturan yang ada, ketika awal pendidikan tidak sempurna maka yang akan menjadi efeknya adalah pengaplikasian seseorang di mata masyarakat, akan terlihat kacau seperti konflik ormas dan lain-lain. Ketika semuanya telah terjadi apa yang menjadi titik pacu dalam perbaikan individu tersebut? Tentu saja tentang peran emosi yang mengendalikan seseorang dalam bersosial. Emosi sangat menguasai logika berpikir mereka anak-anak dan remaja. Remaja dan anak-anak jauh lebih banyak didorong oleh perasaan mereka daripada pemikiran yang baik untuk mereka. Oleh karena itu kecerdasan emosiaonal (EQ) sangat dibutuhkan dan perlu dibentuk dengan sebaik-baiknya agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi lagi. Dengan mengetahui hal ini, maka sia-sia upaya kita menjejali mereka dengan kuliah atau pembelajaran seharian. Me-reset pikiran mereka dengan masukan positif, menjadikan diri kita sebagai motivator dadakan didepan mereka tidak akan berpengaruh 100% sukses. Justru membuat anak bertambah dongkol dengan kelakuan kita.  Kata-kata nasihan sudah bagaikan madu yang terbuang sia-sia tanpa menjadi obat penyembuh luka, seperti hal yang bersifat dictator tidak akan menjadi solusi, kecuali bila kita sudah terlebih dahulu mengenali perasaan mereka dan mampu menyelami kondisi emosional mereka.
Ketika kondisi emosi yang negatif seorang anak tidak dapat menerima input dan nasehat bahkan instruksi sekalipun yang dapat mengubah perilaku mereka. Berbeda hasilnya jika kita mampu mengerti dan mengenali perasaan emosi mereka terlebih dahulu maka mereka akan terbuka dan mendengarkan saran logis dari kita. Anak–anak dan remaja akan melakukan sesuatu jika membuat mereka merasa nyaman atau enak di rasanya atau hatinya.
Menurut Ign. Masidjo dalam buku Psikologi Belajar dan Pembelajaran SD (2006:18), kecerdasan merupakan suatu aktifitas kognitif siswa di mana berfikir berperan utama yang tampak dalam tingkah lakunya yang terarah pada penyesuaian diri terhadap situasi baru yang bermasalah. Shapiro, Lawrence E, Ph.D. (1999:5), dalam bukunya Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, mengemukakan pendapat psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire (1990) yang menjelaskan tentang kualitas-kualitas emosi yang sangat penting bagi keberhasilan seseorang. Kualitas-kualitas tersebut yaitu: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Dengan demikian maka cobalah oleh pelaku pendidikan seperti orang tua dan guru untuk benar-benar memahami perilaku dan karakter mereka dan mencoba untuk menetralisirkan perilaku negatif pada anak. Karena jika sang pendidik sudah bisa mengerti dan mengenali perasaan emosi mereka, maka tidak menutup kemungkinan mereka pun akan luluh dan sang pendidik akan mampu menguasai dan menetralisir emosi yang negatif pada siswa tersebut.
Meninjau Problematika Konflik Agama dan Sosial
Di era globalisasi dewasa ini pertemuan unsur-unsur budaya telah terjadi secara khusus dan terfokus dengan tidak lagi mengindahkan masalah dimana itu berada. Pluralitas budaya dan setiap aspeknya akan mengiringi nilai-nilai dan konsep-konsep parsial ke dalam kotak-kotak primordialisme. Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya, selain berfungsi sebagai pemersatu atau factor integrasi, juga menjadi faktor penyebab konflik Bergantung pada bagaimana ia digunakan.
Pada saat ini memang yang namanya arus perubahan sosial dan kultural sedang melanda kehidupan sosial di seluruh dunia. Perubahan yang ditampilkan disini begitu signifikan dan tak terelakkan sehingga umat manusia pun dituntut untuk menyesuaikan dan mengikuti pada perubahan budaya dan sosial. Efek dari semua itu adalah pergeseran nilai yang cepat dan akibatnya dapat menimbulkan goncangan yang kuat karena umat manusia harus menyesuaikan perilakunya terhadap nilai baru tersebut.
Tetapi pada pelaksanaannya terhadap nilai perubahan yang melanda di beberapa negara tidak selalu berjalan mulus.  Mungkin dibeberapa negara nilai peubahan ini sudah berjalan dengan mulus karena semua itu sudah merupakan konsep dari pelaku perubahan dan mereka berhasil meredam potensi konflik yang terjadi. Tetapi semua itu terjadi cenderung berbeda di Indonesia yang rentan akan terjadinya konflik, pihak satu mengoreksi pihak yang lain sebaliknya pihak yang dikoreksi juga melakukan hal yang sama seolah tidak ada yang ingin disalahkan dan merasa dirinya paling benar. Inilah sebab terjadinya konflik, karena orang di Indonesia  dengan “budaya timurnya” cenderung resistensi atau bahkan melakukan perlawanan terhadap koreksi yang pada dasarnya mempunyai tujuan untuk memperbaiki kualitas dari seseorang atau pihak tersebut. Kejadian seperti itu membuat konflik cenderung semakin tajam dan berkembang, dan pada titik akhirna terjadilah benturan fisik yang bisa mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, sungguh tidak diharapkan jika yang seharusnya menjadi pilar bangsa ini harus saling menghancurkan satu sama lain.
Disinilah peran sang pendidik sangat dipertaruhkan.  Karena mereka mempunyai peran yang sangat penting untuk membina, menggiring dan mengarahkan para peserta didik ke arah yang relevan agar peserta didik tidak menjadi pelaku atau korban dari perubahan sosial dan budaya yang mengarah ke hal negatif yang bisa berujung konflik dan pada akhirnya terjadi perkelahian yang diiringi dengan jatuhnya korban.
Dilema Pendidikan yang Menyandang Pluralisme
Pada bukunya yang berjudul Pokoknya Rekayasa Literasi prof.  A chaedar Al Wasilah, beliau menyatakan bahwa pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara ketrampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Jelas terlihat ketika sang pendidik merasa cemas terhadap konflik sosial dan ketidakharmonisan agama bahkan semua ini merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi bangsa sebagai warga negara yang demokratis dan mampu menerima pluralisme menggunakan pola karakter yang baik sebagaimana yang tertera dalam UU Sisdiknas karena masih berkaitan dengan HAM, pasal tentang pendidikan agama dalam UU Sisdiknas tidak bertentangan. Pasal tersebut seiring dan selaras dengan Deklarasi Umum (Universal Declaration of Human Right) PBB, Pasal 18 yang berbunyi “Setiap orang mempunyai hak dan kebebasan dalam berpikir, berhati nurani, dan beragama; sesorang juga bebas mengubah agama atau kepercayaan sesuai keyakinannyaserta berhak mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan agama dan keyakinannya dalam pengajaran, peribadatan, dan kehidupan sehari-hari” (dalam Kuntjoro Purbopranoto, 1969). Demikian pula dalam UUD 1945, Pasal 29, ayat 1 dan 2, bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Jelaslah, pasal tentang pendidikan agama dalam UU Sisdiknas tidak melanggar HAM dan UUD 1945, justru sebaliknya sebagai wujud pengejawantahan HAM dan UUD 1945. Kemudian dikuatkan dengan ayat Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Kementrian Agama, bahwa pluralisme adalah merupakan Sunnatullah ataupun hukum alam yang tidak bisa diingkari oleh siapapun juga. Hal ini mengandung hikmah dan tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan hidup dan kehidupan ummat manusia. Hikmah dan tujuan-tujuan pluiralisme tersebut dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama Islam yang termuat dalam Al-Quran, antara lain adalah sebagai berikut, pertama, sebagai simbol atau tanda kebesaran Tuhan (Q.S. Ar. Rum : 20); kedua sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama ummat manusia (Q.S. Al-Hujurat : 13); ketiga sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan dan perenstasi (Q.S. Al-Maidah : 48); keempat sebagai motivasi beriman dan beramal sholeh (Q.S. Al-Baqarah : 60).
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.  Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhtian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.  Dalam arti praktis ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran disekolah.
Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran dalam bebicara.  Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi.  Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi untuk hamper sepanjang hari, haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Untuk menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik untuk meraih keberhasilan setiap individu. Sebaliknya, jika ketidakmampuan menjaga hubungan baik satu sama lain maka dapat merugikan individu lain dan dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam dukungan kelas sipil yang positif di kalangan siswa. Interaksi kawan sebaya dalam studi sosial, pendidikan dalam kelas di Indonesia dan Pancasila tidak akan elenceng dari tujuannya jika guru dapat mengelola secara efektif. Pembelajaran yang berisik tidak semata-mata negatif. Karena merupakan salah satu cara pengembangan potensi siswa dalam pendidikan dengan cara interaksi sosial.
Oleh karena itu, sangat disarankan agar sistem pendidikan menggunakan interaksi kawan sebaya sebagai salah satu kegiatan rutin di dalam kelas. Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat dan berargumen untuk mempersiapkan mereka hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis. Tidak lagi menggunakan metode ceramah atau hanya transfer ilmu dari guru kepada murid, karena pada faktanya tidak 100% menjamin bahwa ilmu yang diberikan dapat diterima dengan baik oleh siswa.
Untuk ruang lingkup siswa SD, anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka namun mereka dapat mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Selain itu, para siswa dapat memberikan kepercayaan satu sama lain, sehingga kompromi dan konsensus dapat dicapai dengan cara yang baik.
Studi Aprilliaswati ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa pendidikan harus berkembang tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil yang positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan kecerdasan intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan bangsa yang beradab. Pendidikan yang terjadi saat ini bisa dikatakan tidak mencapai titik yang diharapkan untuk memberikan para siswa dengan kompetensi dasarnya. Sebagian besar politisi dan birokrat memegang kekuasaan karena pendidikan yang mereka dapatkan. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi yang berkualitas.
Dalam gagasan Profesor Chaedar yang tertulis pada bukunya Pokoknya Rekayasa Literasi, beliau membahas tentang kekuatan yang berakar dari Classroom Discourse. Karena pada dasarnya sistem ini membuat siswa menjadi lebih aktif dan menjunjung interaksi sosial dengan kawan sebayanya, yang telah terbukti metode ceramah yang sering dilakukan oleh para guru tidaklah 100% efektif justru cenderung membuat siswa merasakan kebosanan dan suntuk. Bukan hanya sistem pembelajaran yang ditekankan pada wacana tersebut namun kondisi yang terjadi ketika situasi dalam kelas dikombinasikan dengan berbagai ras, asal, dan tentunya agama. Keharmonisan siswa dengan agama yang berbeda-beda di Indonesia terlihat sukar untuk dipersatukan, karena yang terlihat pada problematikan sekolah di Indonesia hal-hal tersebut sangat sensitif menimbulkan konflik, maka dari itu classroom discourse yang disarankan oleh Profesor Chaedar sangat baik untuk diaplikasikan karena mengingat tujuannya yang baik. Profesor Chaedar menginstruksikan mahasiswa untuk menggunakan metodologi classroom discourse.
1.      Dapat membangun rasa hormat
2.      Menumbuhkan jiwa tolong menolong
3.      Berbagi satu sama lain
4.      Harus mengeluarkan pendapat lebih sopan
Yang kemudian pencapaian akhirnya dapat direalisasikan di masyarakat, dan pada lingkungan sosial.
Pratinjau Sistem Pendidikan
Penanaman karakter pada usia dini itu sangatlah penting.  Karena pada dasarnya pendidikan karakter yang berawal dari pendidikan informal dalam keluarga adalah sebagai pondasi utama dalam melanjutkan pendidikan selanjutnya, jika pada tahap awal karakter siswa tidak bisa terkontrol dan dilapisi dengan karakter yang baik maka pada hasil akhirnya sensitifitas konflik akan mudah terjadi seperti yang sangat tidak diamini oleh Profesor Chaedar dengan gagasan beliau yang memberikan solusi menggunakan sistem classroom discourse.
Melirik kepada idelogi sistem pendidikan liberal yang selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru di Indonesia.
Menyelami pengertian liberal yang bergerak bebas, tentunya berpengaruh total terhadap sistem pendidikan Negara ini. Ironis jika lembaga yang bergerak di bidang pendidikan melakukan tindakan yang tidak mendidik dengan maraknya praktek korupsi di wilayah DEPDIKNAS. Pemerintah memfasilitasi dengan sangat baik di dunia pendidikan, namun penyimpangan dana seringkali terjadi khususnya yang mudah tercium kasusnya pada kasus korupsi Biaya Operasional Sekolah (BOS). Di sini pemerintah sangat memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sekolah dan kualitas pendidikan, namun sayangnya tidak dapat tersalurkan dengan baik. Terkadang ketika penyaluran bisa dilakukan dengan sukses, namun problematika tersendatnya dana tidak berhenti hanya pada DIKNAS, penerima atau pihak oknum staf sekolah pun dapat mencicipi uang kotor tersebut.
Disisi lain pendidikan liberal yang hanya terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi (klasik) dan lebih mengembangkan aspek intelektualnya saja.  Padahal seharusnya yang dibutuhkan bangsa ini adalah lebih berfokus pada pengembangan pribadi dalam skala yang luas tidak hanya di aspek intelektualnya saja tetapi harus ada aspek-aspek yang menunjang, seperti :  emosi, intelektual dan moral peseta didik. Disinilah peranan pemerintah sekarang yang harus benar-benar membenahi sistem pendidikan di Indonesia agar tidak menganut sistem pendidikan liberalis yang hanya memacu pada sebatas aspek intelektualnya saja dan itupun hanya sebuah kisah klasik terdahulu yang dibawa oleh zaman kompeni atau kolonialisme.
Indonesia merupakan Negara yang mengedepankan kemampuan intelektual saja, sehingga tidak disadari bahwasannya kecerdasan lainnya yang memopang kesuksesan seseorang justru diabaikan, pada akhirnya tidak aneh lagi ketika konflik terjadi di mana-mana konflik agama, ras, daerah dan yang lainnya disebabkan penanaman karakter yang berpusat pada kecerdasan mengendalikan emosi dan moralitas spritiual tidak ada di dalam karakter mereka.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan beradab juga memiliki kekayaan budaya dibanding Negara lain. Begitu pula dalam hal pendidikan, sistem dan prinsip pendidikan di Indonesia tidak dibenarkan untuk mengiblat kepada orang lain. Karena Indonesia sama sekali berbeda dengan mereka. Indonesia memilki kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang jauh lebih baik dari Negara manapun. Jika pendidikan di Indonesia ingin berhasil dan mencapai keberhasilan maka pendidikan di Indonesia haruslah berorientasikan kepada kebijaksanaan lokal dan budi luhur yang dimilki bangsa Indonesia.
Benang merahnya adalah pendidikan pada dasarnya betujuan lurus ingin meningkatkan kualitasn kecerdasan seseorang atau secara umum pada suatu bangsa agar tercapainya suatu tujuan yang harmonis dan dinamis untuk memajukan kualitas diri seseorang dan kualitas suatu bangsa. Namun tidak berhenti pada sebuah harapan dan perkataan, karena semuanya dapat terjadi bila mulai direalisasikan tidak sebatas dalam ucapan, kualitas terbaik akan mudah dicapai ketika semua aspek jiwa dan raga dapat dikendalikan dengan baik. Perubahan sosial dan kultural adalah salah satu tantangan yang harus ditaklukan oleh peserta didik dan sang pendidik. Pencampuran budaya asing merupakan sebuah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan budaya asli, maka dari itu peran dari seorang pendidik untuk menetralisir kontaminasi budaya sangatlah penting untuk mencegah penyimpangan. Tidak ada yang salah dengan budaya asing, namun ketika melihat karakteristik bangsa Indonesia, tidak ada yang dapat disesuaikan dengan Negara asing sehingga sulit untuk dikombinasikan.
Pada akhirnya kesalahan bukan menjadi indikator kualitas pendidikan di Indonesia, namun perlu disadari bahwa pembenahan dari sistem pendidikan sangatlah vital baik dari pembenahan tenaga pendidik, penanaman karakteristik pada siswa, kemudian sistem pendidikan dan kurikulum harus segera disempurnakan. Indonesia yang yang termasuk kategori masyarakat yang rendah akan literasi sanggupkah untuk menandingi kualitas literasi bangsa lain? Hidup adalah kompetisi, tidak ada salahnya mengambil perbandingan dari luar, karena dapat menjadi acuan perbaikan dan penyempurnaan untuk lebih baik lagi, namun sebuah kesalahan apabila pencampuran budaya asing pada bangsa Indonesia yang sejatinya termasuk ke dalam penganut budaya timur harus dikombinasikan dengan budaya barat, alhasil perilaku kebarat-baratan siswa yang menyimpanglah dengan mudah diserap oleh bangsa Indonesia, itu sebuah kecelakaan yang harus diminimalisir.
   Melihat sisi metode pembelajaran classroom discourse merupakan sebuah terobosan baik untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia walaupun pada dasarnya kualitas pendidikan tidak berpusat pada sistem atau metode pembelajaran, namun setidaknya dapat merubah mindset setiap siswa yang selalu berorientasi pada guru dan tidak dapat mengekspresikan argumennya sendiri. Profesor Chaedar membuktikan dengan interaksi dengan teman sebaya ternyata akan lebih efektif karena setiap siswa memerlukan pengekspresian diri atas apa yang ingin ia sampaikan, dengan begitu pengaplikasian classroom discourse sangat diperlukan mengingat guru hanya sebagai fasilitator dan sebagai coach di ruang lingkup pendidikan yaitu kelas dengan harapan dapat melahirkan siswa yang kritis, menjadi bangsa yang bercitarasa literasi tinggi dan mampu berkompetisi di cakupan dunia internasional.


Daftar Pustaka
-          Al-Wasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
-          Masidjo, Ignasius. 2006. Psikologi Belajar dan Pembelajaran SD. Yogyakarta: Bina Dharma Mulia.
-          Shapiro, Lawrence E, Ph.D. 1999. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
-          Stein, Steven J, Ph.D, Book, Howard E, M. D. 2000, Ledakan EQ, Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, 2004, Bandung, Penerbit Kaifa


0 comments:

Post a Comment